Sejujurnya, aku juga pernah memiliki
rasa itu untuknya. Bang Adit yang aku kenal saat aku duduk di bangku SMA,
berhasil menarik perhatianku. Saat bersamanya, aku menjadi diriku sendiri.
Ketawa sepuasnya, saling mengejek satu sama lain, bermanja ria layaknya seperti
adik kepada abang kandungnya. Abang mampu membuatku nyaman dan bersikap apa
adanya saat bersamanya. Dan semua itu, jarang aku temui dengan lelaki lain.
Namun rasa itu terkubur manakala melihat bang Adit pacaran dengan Tya. Melihat
sosok Tya yang begitu sempurna, rasanya mustahil jika bang Adit menancapkan
hatinya padaku. Haa ... Sadar Ara, kau bukan pilihannya.
Kabar buruk terdengar olehku.
Hubungan yang telah lama terjalin, berakhir begitu saja yang aku sendiri tidak
tahu apa alasannya. Aku hanya mendapati tatapan enggan di mata bang Adit saat
aku membicarakan tentang kak Alya. Sejujurnya, aku tidak suka dengan keputusan
yang mereka ambil. Namun di sisi lain, ada gejolak bahagia yang terus melompat
kegirangan. Aku merasa, perhatian abang kembali terpusat seutuhnya padaku yang
tidak pernah mengizinkanku berpacaran sejak SMA, dan entah apa alsan larangan
itu. Dia selalu marah ketika aku berbicara tentang cowok lain di hadapannya.
Semenjak itu, bang Adit kembali
dekat denganku seperti dulu. Pernah satu kejadian yang membuatku sempat dilanda
takut akan hadirnya rasa itu lagi. Aku yang ketika itu pulang ke kota tempat
aku menyelesaikan pendidikan, lebih memilih menggunakan jasa kereta api bersama
bang Adit. Satu sikap bang Adit membuatku kaget. Dia menggenggam tanganku saat
aku dan dia menyebrang jalan. Hal yang tidak pernah ia lakukan sejak dulu.
Bahkan untuk menyentuh ujung rambutku saja dia tidak pernah melakukannya.
Aku takut kalau rasa itu hadir lagi. Aku
tidak ingin merasakan rasa sakit jika mencintai orang yang tidak mencintaiku. Aku
hanya berharap, jika rasa itu ada di hatinya, aku akan menantinya. Namun jika
tidak ada, maka biarlah aku hidup tanpa merasakan apapun darinya. Abu-abu ...
Love The gray.